Salam Dahsyat ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?
SELAMAT DATANG!! Salam bahagia dan sukses, selamat datang calon entrepreneur sukses. Disini kita bebas-aktif mencari solusi dalam dunia bisnis di Indonesia. Demi menggerakkan roda ekonomi indonesia dan menciptakan wadah peluang bisnis, ada baik nya kita berbagi cerita sukses anda dan informasi peluang bisnis di blog ini. Sepenuhnya disini kita bahas tuntas mengenai bisnis dan solusinya. Dengan anda berpartisipasi dan meluangkan waktu anda disini, anda sudah membantu negara ini bangkit dari ketepurukan ekonomi. Salam, Peluang Bisnis

ACFTA: Dua Persoalan, Empat Solusi

Written By Peluang Bisnis on Rabu, 04 Mei 2011 | 00.44

Sedari awal, kesepakatan/perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010 telah menyimpan dua persoalan penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia.

Pertama, apakah pemerintah Indonesia telah melakukan sosialisasi terhadap publik mengenai kesepakatan ACFTA. Kedua, apakah pemerintah Indonesia telah memiliki strategi besar untuk menghadapi ACFTA. Dua persoalan ini penting untuk dikaji agar dapat dicari solusi yang tepat bagi Indonesia.

Dua Persoalan

Persoalan pertama terkait dengan persepsi publik terhadap kesepakatan ACFTA. Ini menjadi persoalan karena persepsi publik penting untuk di jadikan pertimbangan pemerintah Indonesia sebelum ACFTA diberlakukan.

Untuk menjawab persoalan pertama, temuan survei LSI (Lingkaran Survei  Indonesia) terkait ‘Persepsi Publik Terhadap Perdagangan Bebas ASEAN-China’ yang dilakukan pada awal bulan Mei 2010 dapat dijadikan rujukan. Survei LSI dilakukan  dengan populasi nasional dan sampel diambil secara standar dengan multistage random sampling (MRS).

Wawancara dilakukan secara tatap muka (face to face interview). Sampel yang dianalisis sebanyak 1.000 responden dengan tingkat kesalahan sampel (sampling error) sebesar plus minus lima persen.

Dalam surveinya, LSI mengajukan beberapa pertanyaan terhadap publik menyangkut ACFTA. Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa hanya sebagian kecil saja publik Indonesia yang mengetahui atau pernah mendengar kesepakatan/perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China yang mulai berlaku pada 1 Januari 2010.

Hanya 26,7 persen saja publik yang pernah mendengar mengenai kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China. Dari mereka yang pernah mendengar mengenai kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China, mayoritas publik (51,9 persen) mengatakan tidak setuju dengan kesepakatan perdagangan bebas.

Mengapa lebih banyak publik yang tidak setuju dengan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China? Hal ini karena publik melihat kesepakatan perdagangan bebas ini lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan.

Mayoritas publik (55,1 persen) mengatakan kesepakatan perdagangan bebas akan merugikan Indonesia karena pasar Indonesia banyak dibanjiri oleh produk-produk dari China. Hanya 21 persen saja yang menilai perdagangan bebas itu menguntungkan Indonesia karena produk Indonesia bisa dipasarkan di China.

Survei LSI juga menanyakan kepada publik mengenai kekhawatiran terhadap perjanjian perdagangan ASEAN-China. Jawabannya mayoritas publik justru mengkhawatirkan akibat dampak dari perdagangan bebas tersebut. Sebanyak 75,7 persen publik khawatir perdagangan bebas itu membuat pasar Indonesia dipenuhi oleh produk-produk dari China.

Mayoritas publik (78,2 persen) juga khawatir perdagangan bebas itu membuat banyak perusahaan Indonesia akan tutup akibat tidak mampu bersaing dengan produk-produk dari China (kajian Bulanan LSI, Edisi No.22, Juli 2010).

Ternyata temuan survei LSI tersebut menunjukkan bahwa publik cenderung mempersepsikan berlakunya ACFTA secara negatif. Publik menilai adanya perdagangan bebas ASEAN-China justru dapat membahayakan pasar dalam negeri dan ini jelas dapat merugikan neraca perdagangan Indonesia. Artinya China yang justru diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas dan bukannya Indonesia.

Persoalan kedua terkait dengan kesiapan atau strategi besar pemerintah Indonesia menghadapi ACFTA. Dalam poin ini tampak bahwa pemerintah Indonesia sama sekali tidak mempersiapkan dirinya secara matang.

Sebagaimana diakui oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat yang mengatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai strategi besar dalam menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA).

Meskipun pemerintah Indonesia telah mengusulkan untuk melakukan renegosiasi untuk 228 pos tarif produk yang berpotensi injuries agar pengenaan bebas bea masuk dapat ditunda pelaksanaanya, namun sayangnya hal itu tidak berjalan dan Indonesia terpaksa harus terus berjalan dengan mekanisme ACFTA.

Akibatnya adalah enam produk injuries karena ACFTA, yaitu industri tekstil dan produk tekstil/TPT, makanan dan minuman, elektronik, alas kaki, kosmetik, serta industri jamu.

Empat Solusi

Sebelum ACFTA diberlakukan, pemerintah Indonesia seharusnya melakukan survei opini publik untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai ACFTA. Karena dengan survei seperti yang dilakukan LSI, pemerintah dapat mengetahui kekhawatiran mayoritas publik dan ini dapat dijadikan ukuran untuk menilai dampak ACFTA terhadap perdagangan Indonesia dan dari situ pemerintah Indonesia dapat menyiapkan strategi besar apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi ACFTA.

Nyatanya kekhawatiran mayoritas publik Indonesia benar dalam menilai dampak ACFTA. Sejak 1 Januari 2010, ketika ACFTA diberlakukan hingga saat ini, produksi industri nasional menurun sampai 50 persen karena kalahnya persaingan, khususnya pada produk usaha kecil dan menengah, di pasar dalam negeri.

Akibatnya adalah sektor industri terpaksa memangkas jumlah tenaga kerja hingga 20 persen. Padahal pertambahan angkatan kerja baru mencapai dua juta per tahun. Itu berarti jumlah pengangguran terus meningkat dari 8.9 juta pada 2009 menjadi 9.2 juta orang pada tahun ini (2011).

Begitupula dalam hal neraca perdagangan Indonesia terus menurun. Sebagai contoh, jika pada 2006 Indonesia masih menikmati surplus USD39,7 miliar dari perdagangan, tahun ini Indonesia hanya mendapatkan keuntungan sebesar USD22,1 miliar. Tergerusnya surplus perdagangan itu, disebabkan oleh kian timpangnya neraca ekspor-impor Indonesia dan China. Pada 2000-2007 neraca perdagangan Indonesia-China masih seimbang, tapi lambat-laun Indonesia malah mengalami defisit.

Pada 2010 saja, defisit perdagangan Indonesia dengan China sudah mencapai USD7 miliar. Data itu menunjukkan begitu derasnya arus barang dan jasa dari China yang masuk ke Indonesia, mulai dari remeh-temeh seperti peniti hingga barang yang sesungguhnya sudah banyak di negeri ini (Editorial MI, Jumat 29 April 2011).

Dengan dampak kerugian nyata bagi Indonesia karena ACFTA, solusi cepat perlu segera dilakukan oleh pemerintah. Setidaknya terdapat empat solusi yang dapat dilakukan pemerintah: Pertama adalah dengan meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan China. Caranya adalah dengan memperbaiki masalah infrastruktur. Karena mustahil bagi Indonesia untuk bersaing dengan China bila tidak ditopang dengan infrastruktur yang memadai

Kedua, kalau memang pemerintah tidak mampu berkompetisi dengan China untuk beberapa sektor perdagangan, maka strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengeluarkan kebijakan safeguard, yakni pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).

Syukurnya, lima produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri akhirnya dikenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan atau safeguards (BMTP) selama tiga tahun ke depan, sehingga diharapkan mampu meredam impor produk itu setelah sebelumnya mengakibatkan kerugian serius bagi produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, atau secara langsung bersaing dengan barang impor itu.

Kelima produk impor yang dikenakan BMTP itu adalah produk tali kawat baja (steel wire ropes) bernomor pos tarif 7312.10.90.00, tali kawat baja (steel wire ropes) bernomor pos tarif 7312.10.10.00, kawat seng (7217.20.10.00), kawat bindrat (7217.10.10.00), dan kain tenun dari kapas (woven fabrics of cotton, bleached and un bleached) bernomor pos tarif 5208.11.00.00; 5208.12.00.00; 5208.13.00.00; 5208.19.00.00; 5208.19.00.00; 5208.23.00.00; 5208.29.00.00; 5209.29.00.00; 5210.11.00.00; 5211.11.00.00; dan 5212.11.00.00 (Bisnis Indonesia, 31 Maret 2011).

Ketiga adalah solusi complementary. Seperti apa yang dikatakan oleh A Prasetyantoko (analis kebijakan dari Center for Financial Policy Studies), Indonesia perlu memperhatikan struktur produksi dan ekspor mana yang berbeda dari China. Jadi apa yang tidak di produksi di China, maka produk itu dapat dijadikan produk ekspor andalan Indonesia ke China.

Itulah yang disebut dengan solusi complementary atau kebijakan perdagangan yang saling melengkapi antara Indonesia dengan China. Keempat adalah solusi voluntary export restraint (VER). Solusi ini pernah dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) ketika negaranya diserbu oleh produk-produk dari China.

Dengan VER, AS dapat meminta China untuk secara sukarela membatasi ekspornya ke AS. Indonesia dengan China dapat melakukan hal serupa dengan VER yang memungkinkan China agar mau membatasi ekspornya ke Indonesia. Caranya adalah dengan meminta China mencabut subsidi ekspor dan membeli lebih banyak lagi dari Indonesia.

Jika empat solusi ini dapat diterapkan Indonesia dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin ketimpangan perdagangan Indonesia terhadap China yang diakibatkan oleh ACFTA dapat kembali ke titik keseimbangan perdagangan (balance of trade) yang menguntungkan bagi kedua pihak. Semoga!

Asrudin
Analis Media Sosial di Lingkaran Survei Indonesia Network (LSI Network)
 


Sumber : okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar